Anak Juga Bisa Depresi

Posted by Ra An Naja 14 Juni 2011 0 comments
Sama dengan orang dewasa, balita juga rentan terkena depresi. Banyak faktor yang menjadi pemicu si kecil mengalami hal tersebut. Para orangtua harus memahami gejala dan mengatasinya.

Dari kejauhan, Callie (bukan nama sebenarnya) tampak seperti anak normal berusia lima tahun lainnya. Tapi ketika diberi mainan, seperti balon dari gelembung sabun –suatu kegiatan yang bisa membuat sebagian besar anak memekik dan melompat kegirangan– dia terlihat tidak tertarik meletuskan balon tersebut atau malah cepat-cepat membalikkan badan. Ketika disediakan boneka atau mainan lain, dia sama sekali tak bergeming.

Ketika sekelompok anak-anak berkumpul untuk bermain, Callie juga tidak bergabung dengan mereka. Bahkan saat berada di rumah, dia sangat pendiam dan suka menyendiri. Sementara itu, ibu Callie menjelaskan, jika kurangnya minat anaknya untuk bermain dikarenakan alasan sederhana, yaitu sifatnya yang ”pemalu”.

Padahal, para ilmuwan sekarang telah menemukan bahwa anak-anak mulai umur tiga tahun dapat memenuhi kriteria klinis untuk menderita gangguan depresi mayor (major depressive disorder/MDD). Apalagi, mereka juga akan menunjukkan pola aktivasi otak yang sangat mirip dengan yang terlihat pada orang dewasa yang didiagnosis dengan gangguan yang sama.

Bagaimana gangguan ini bisa terjadi pada anak-anak preschool?
Joan Luby, direktur program pengembangan emosional dini di Washington University di St Louis, Amerika Serikat, telah mempelajari depresi pada masa preschool selama hampir dua dekade. Perkembangan bidang psikologis menemukan bahwa anak-anak tidak memiliki kompetensi emosional atau kognitif mengalami depresi, tetapi pengalaman klinis Luby bertentangan dengan garis pendapat itu.

”Ketika Anda berpikir tentang hal itu, sebagian besar gejala utama depresi berkembang secara luas,” kata Luby seperti dikutip laman Science Daily.
”Kesedihan dan sifat cepat emosi dapat terjadi pada semua usia dari bayi sampai usia yang sangat tua. Namun, gejala seperti anhedonia (ketidakmampuan untuk menikmati diri sendiri) dianggap menjadi masalah pada orang dewasa karena sering dikaitkan dengan libido yang menurun,” imbuhnya.

 ”Itu, jelas tidak terjadi pada anak-anak.Tapi ketika menerjemahkannya pada perkembangan ketidakadaan kegembiraan, terutama ketika rasa suka cita tersebut adalah keadaan mood yang dominan pada seorang anak, maka dia memiliki penanda klinis yang cukup kuat,” imbuh Luby.

Anak prasekolah yang tertekan di sekolah tidak hanya menunjukkan gejala klinis yang identik dengan perasaan depresi pada orang dewasa. Mereka juga menunjukkan pola yang sama pada aktivitas otak ketika dipindai menggunakan teknik functional magnetic resonance imaging (fMRI). Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam edisi Maret 2011 Journal of Affective Disorders,

Luby dan rekan-rekannya mengamati 11 anak depresi dengan usia rata-rata 4,5 tahun. Sementara mereka memandang wajah mereka dengan berbagai ekspresi emosi. Dalam kelompok tersebut ditemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan depresi dan peningkatan aktivitas pada bagian amygdala kanan, pola aktivitas yang sama dilihat pada orang dewasa yang terkena depresi.

”Ada sesuatu tentang pengalaman depresi pada anak usia dini yang tampaknya meninggalkan jejak abadi di otak. Anak-anak ini lebih cenderung menjadi tertekan sampai dewasa kelak,” katanya.

”Jadi, hasil ini menunjukkan bahwa mungkin ada tandatanda sangat awal dari otak pengidap depresi yang dapat dilihat pada anak-anak mulai usia empat atau lima tahun, dan dapat menjadi pembuka pintu untuk intervensi lebih dini,” ujar Luby.
Daniel Klein, seorang psikolog di Stony Brook University, Amerika Serikat, sedang menyelidiki faktor potensial pada anak usia dini yang dapat memprediksi terjadinya depresi kronis.

”Ketika dokter menanyakan seseorang yang depresi ketika pertama kali mulai merasa tertekan, mereka sering melaporkan telah mengalami kegundahan sepanjang hidup mereka,” katanya.
”Itu (depresi) tidak jelas kapan dimulainya. Jadi, saya mempelajari pada anak usia preschool dengan maksud mencoba untuk mengidentifikasi pemicu perilaku dan rasa emosi yang nantinya akan berkembang menjadi depresi kronis,” ujar Klein.

Dia sampai saat ini telah memantau lebih dari 600 keluarga dari sampel masyarakat setempat dalam studi jenis longitudinal. Pada tahap awal diketahui, beberapa faktor tampaknya memainkan peranan besar dalam terjadinya depresi di kemudian hari.
”Dalam hal temperamen, rasa senang dan suka cita berkurang dalam situasi di mana kebanyakan anak-anak menjadi sangat bersemangat dan kemudian banyak perasaan ketakutan dan kesedihan yang menonjol,” kata Klein.

”Anak-anak ini cenderung memiliki orang tua dengan riwayat depresi dan kami melihat beberapa kelainan pada aktivitas listrik ketika kami mengukur EEG (instrumen untuk menangkap aktivitas listrik di otak),” tuturnya.

Ada beberapa bukti sekarang bahwa pola-pola ini memprediksi tidak selalu depresi klinis, tetapi gejala depresi lebih tiga atau empat tahun kemudian.
Michael Yapko, seorang psikolog klinis dan penulis buku Depression is Contagious mengatakan bahwa meskipun khawatir, Food and Drug Administration( FDA) memperkirakan bahwa sekitar 7 persen dari obat antidepresan masih diresepkan untuk anak-anak.


Baca Selengkapnya ....

Anak Laki-laki Juga Butuh Afeksi

Posted by Ra An Naja 0 comments
Anak laki-laki juga mem-butuhkan pelukan dan ciuman dari orangtua. Namun memang kebutuhan akan afeksi ini perlu ditunjukkan pada waktu yang tepat. Anak laki-laki cenderung sungkan menerima ungkapan kasih sayang orangtuanya, jika ia sedang berada di dekat teman-temannya. Apalagi jika anak semakin tumbuh besar, saat ia mulai membangun kemandirian dirinya. 

Dan Kindlon, PhD, penulis buku Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys menjelaskan, "Pria dewasa yang leluasa menunjukkan afeksi tumbuh dari pengasuhan yang penuh ekspresi kasih sayang dari orangtuanya. Peran orangtua adalah mencari cara bagaimana menunjukkan kasih sayang kepada anak laki-lakinya, meski terkadang anak laki-laki merasa sungkan dipeluk dan dicium orangtuanya".

Pilih waktu yang tepat
Jika anak laki-laki Anda menolak pelukan atau ciuman sebagai bentuk ekspresi kasih sayang, jangan dipaksakan. Pilih momen yang tepat untuk menunjukkan afeksi kepada anak. Bagaimana pun anak membutuhkan ungkapan cinta dari orangtuanya.

Mungkin saja anak laki-laki Anda malu jika orangtuanya menciumnya di depan anak-anak perempuan, teman sekolahnya. Namun, bukan berarti anak laki-laki Anda tak membutuhkan kecupan hangat menjelang tidur, atau pelukan yang menenangkan saat hatinya sedang sedih.

"Anak laki-laki membutuhkan dan menginginkan sentuhan yang menunjukkan perhatian dari ibunya. Meski kadang anak laki-laki cenderung menutupi keinginannya itu," jelas Kindlon.

Ia menambahkan anak laki-laki perlu mendapatkan pengalaman sentuhan fisik sebagai ungkapan kasih sayang sejak dini. Dengan begitu ia tumbuh menjadi pria dewasa dengan kepribadian positif yang mampu mengungkapkan kasih sayang.


Sumber: WomansDay

Baca Selengkapnya ....
Redesigned by Info Terbaru Original by Bamz | Copyright of an naja banyuasin. Untuk SEO lebih lanjut kunjungi Trik SEO terbaru.